BAB I
PENDAHULUAN

A.     LATAR BELAKANG

Pancasila sebagai suatu sistem filsafat pada hakikatnya merupakan suatu nilai sehingga merupakan sumber dari segala penjabaran dari norma yang ada baik norma hukum, norma moral maupun norma kenegaraan lainya. Dalam filsafat pancasila terkandung didalamnya suatu pemikiran pemikiran yang bersifat kritis, mendasar, rasional, sistematis dan komprehensif (menyeluruh) dan sistem pemikira ini merupakan suatu nilai, Oleh karena itu suatu pemikiran filsafat tidak secara langsung menyajikan norma-norma yang merupakan pedoman dalam suatu tindakan atau aspek prasis melainkan suatu nilai yan bersifat mendasar.
Nilai-nilai pancasila kemudian dijabarkan dalam suatu norma yang jelas sehingga merupakan suatu pedoman. Norma tersebut meliputi norma moral yaitu yang berkaitan dengan tingkah laku manusia yang dapat diukur dari sudut baik maupun buruk.
Kemudian yang ke dua adalah norma hukum yaitu suatu sistem perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Dalam pengertian inilah maka pancasila berkedudukan sebagai sumber dari segala hukum di Indonesia, pancasila juga merupakan suatu cita-cita moral yang luhur yang terwujud dalam kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia sebelum membentuk negara dan berasal dari bangsa indonesia sendiri sebagai asal mula (kausa materialis).
Pancasila bukanlah merupakan pedoman yang berlangsung bersifat normatif ataupun praksis melainkan merupakan suatu sistem nilai-nilai etika yang merupakan sumber hukum baik meliputi norma moral maupun norma hukum, yang pada giliranya harus dijabarkan lebih lanjut dalam norma-norma etika, moral maupun norma hukum dalam kehidupan kenegaraan maupun kebangsaan.
B.   PERUMUSAN MASALAH

Dari makalah yang saya buat ini, sebenarnya banyak permasalahn yang bias kami angakat. Akan tetapi kami hanya mengakat satu permasalahan. Adapun pramasalahan yang kami angkat adalah “Apakah itu Etika Politik dah Hubungannya dengan Pancasila?”.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

MENURUTPENDAPAT SUSENO
Negara Indonesia yang berdasarkan sila I Ketuhan Yang Maha Esa bukan berdasar Negara Teokrasi yang mendasar kekuasaan Negara dan penyelengaraan Negara pada legistimasi religius dalam Negara dijalankan sesuai dengan (1) asas legalitas(legitimasi hukum)yaitu dijalankan sesuai dengan hokum yang berlaku (2)disahkan dan dijadikan secara demokratis (legistimasi dekmokrasi ) dan (3) dilaksanakan dengan  (legistimasi moral).
Secara  subtantif pengertian etika politik tidak dapat dipisahkan dengan subjek sebagai pelaku etika yaitu manusia .oleh karena itu etika politik berkaitan dengan bidang pembahasan moral ,Hal ini berdasarkan bahwa moral senantiasa menunjukkan kepada manusia sebagai subyek etika .maka kewajiban moral berbeda dengan kewajiban-kewajiban lainnya .Etika politik tetap meletakan dasar funda mentalnya manusia sebagai manusia .Dasar ini lebih meneguhkan akar etika politik bahwa baik kan senantiasa didasarkan kepada hakikat manusia ,sebagai mahluk yang beradab dan berdudaya .berdasarkan suatu kenyataan bahwa  masyarakat ,maupan Negara bisa berkehendak kearah keadaan yang tidak baik dalam arti moral .Aktualisasi etika politik harus senantiasa mendasarkan kepada ukuran dan martabat sebagai manusia.


BAB III
PEMBAHASAN
A.      PRINSIP DASAR ETIKA POLITIK
1.    Pluralisme
            Dengan pluralism dimaksud kesediaan untuk menerima pluralitas, artinya untuk hidup dengan positif, damai, toleran, dan biasa/normal bersama warga masyarakat yang berbeda pandangan hidup, agama, budaya dan adat.
Mengimplikasikan pengakuan terhadap kebabasan beragama, berfikir, mencari informasi dan toleransi.
Memerlukan kematangan kepribadian seseorang dan kelompok orang.Terungkap dalam Ketuhanan Yang Maha Esa yang menyatakan bahwa di Indonesia tidak ada orang yang boleh didiskriminasikan karna keyakinan religiusnya.Sikap ini adalah bukti keberadaban dan kematangan karakter klektif bangsa.

2. HAM
Jaminan hak-hak asasi manusia adalah bukti kemanusiaan yang adil dan beradab, karena hak asasi manusia menyatakan bagaimana manusia wajib diperlakukan dan wajib tidak diperlakuakan agar sesuai dengan martabatnya sebagai manusia. Kontekstual karena baru mempunyai fungsi dimana manusia tidak lagi dilindungi oleh adat/tradisi dan sebaliknya diancam oleh Negara modern
Mutlak karena manusia memilikinya bukan karena pemberian Negara, masyarakat, meliankan karena ia manusia, jadi dari tangan pencipta. Kemanusiaan yang adil dan beradab juga menolak kekerasan dan eklusivisme suku dan ras.
     3.    Solidaritas Bangsa
Solidaritas mengatakan bahwa kita tidak hanya hidup untuk diri sendiri melaikan juga demi orang lain. Solidaritas dilanggar kasar oleh korupsi.Korupsi bak kanker yang mengerogoti kejujuran, tanggung jawab, sikap obyektif, dan kompetensi orang/kelompok orang yang korup.
4.  Demokrasi
            Prinsip “kedaulatan rakyat” menyatakan bahwa tidak ada manusia atau sebuah elit, untuk menentukan dan memaksakan bagaimana orang lain harus atau boleh hidup. Demokrasi berdasarkan kesadaran bahwa mereka yang dipimpin berhak menentukan siapa yang memimpin mereka dan kemana tujuan mereka dipimpin.
Demokrasi adalah kedaulatan rakyat dan keterwakilan.Jadi demokrasi memerlukan sebuah sistem penerjemah kehendak rakyat kedalam tindakan politik.Dasar-dasar demokrasi.Kekuasaan dijalankan atas dasar ketaatan terhadap hokum.Pengakuan dan jaminan terhadap HAM.
       5.  Keadilan Sosial
 Keadilan merupakan norma moral paling dasar dalam kehidupan masyarakat, Keadilan sosial mencegah dari perpecahan Tuntutan keadilan sosial tidak boleh dipahami secara ideolodis, sebagai pelaksana ide-ide, agama-agama tertentu. Keadilan adalah yang terlaksan Keadilan sosial diusahakan dengan membongkar ketidak adilan dalam masyarakat.

B. DIMENSI ETIKA POLITIK MANUSIA
1. Manusia Sebagai Makhluk Individu-Sosial
Berbagai paham antropologi filsafat memandang hakikat sifat kodrat manusia, dari kacamata yang berbeda-beda.Paham individualismeyang merupakan cikal bakal paham liberalisme, memandang manusia sebagai makhluk individu yang bebas, Konsekuensinya dalam setiap kehidupan masyarakat, bangsa, maupun negara dasar ontologis ini merupakan dasar moral politik negara.Segala hak dan kewajiban dalam kehidupan bersama senantiasa diukur berdasarkan kepentingan dan tujuan berdasarkan paradigma sifat kodrat manusia sebagai individu.Sebaliknya kalangan kolektivisme yang merupakan cikal bakal sosialisme dan komunisme mamandang siafat manusia sebagi manusia sosial sauja.Individu menurut paham kolekvitisme dipandang sekedar sebagai sarana bagi amasyarakat.Oleh karena itu konsekuensinya segala aspek dalam realisasi kehidupan masyarakat, bangsa dan negara paham kolektivisme mendasarkan kepada sifat kodrat manusia sebagai makhluk sosial.Segala hak dan kewajiban baik moral maupun hukum, dalam hubungan masyarakat, bangsa dan negara senantiasa diukur berdasarkan filsofi manusia sebagai makhluk sosial.Manusia sebagai makhluk yang berbudaya, kebebasan sebagi invidu dan segala aktivitas dan kreatifitas dalam hidupnya senantiasa tergantung pada orang lain, hal ini dikarenakan manusia sebagai masyarakat atau makhluk sosial. Kesosialanya tidak hanya merupakan tambahan dari luar terhadap individualitasnya, melainkan secara kodrati manusia ditakdirkan oleh Tuhan Yang Maha Esa, senantiasa tergantung pada orang lain. Manusia didalam hidupnya mampu bereksistensi kare orang lain dan ia hanya dapat hidup dan berkembang karena dalam hubunganya dengan orang lain.
Dasar filosofi sebagaimana terkandung dalam pancasila yang nilainya terdapat dalam budaya bangsa, senantiasa mendasarkan hakikat sifat kodrat manusia adalah monodualis yaitu sebagai makhlukindividu dan sekaligus sebagai makhluk sosial. Maka sifat serta ciri khas kebangsaan dan kenegaraan indonesia bukanlah totalis individualistis. Secara moralitas negara bukanlah hanya demi tujuan kepentingan dan kkesejahteraan individu maupun masyarakat secara bersama. Dasar ini merupakan basis moralitas bagi pelaksanaan dan penyelenggaraan negara, sehingga konsekuensinya segala keputusan, kebijaksanaan serta arah dari tujuan negara indonesia harus dapat dikembalikan secara moral kepada dasar-dasar tersebut.
2. Dimensi Politis Kehidupan Manusia
Dimensin politis manusia senantiasa berkaitan dengan kehidupan negara dan hukum, sehingga senantiasa berkaitan dengan kehidupan masyarakat secara keseluruhan.Dimensi ini memiliki dua segi fundamental yaitu pengertian dan kehendak untuk bertindak.Sehingga dua segi fundamental itu dapat diamati dalam setiap aspek kehidupan manusia. Dua aspek ini yang senantiasa berhadapan dengan tindakan moral manusia, sehingga mausia mengerti dan memahami akan suatu kejadian atau akibat yang ditimbulkan karena tindakanya, akan tetapi hal ini dapat dihindarkan karena kesadaran moral akan tanggung jawabnya terhadap manusia lain dan masyarakat. Apabila pada tindakan moralitas kehidupan manusia tidak dapat dipenuhi oleh manusia dalam menghadapai hak orang lain dalam masyarakat, maka harus dilakukan suatu pembatasan secara normatif. Lembaga penata normatif masyarakat adalah hukum.Dalam suatu kehidupan masyarakat hukumlah yang memberitahukan kepada semua anggota masyarakat bagaimana mereka harus bertindak.Hukum hanya bersifat normatif dan tidak secara efektif dan otomatis menjamin agar setiap anggota masyarakat taat kepada norma-normanya.Oleh karena itu yang secara efektif dapat menentukan kekuasaan masyarakat hanyalah yang mempunyai kekuasaan untuk memaksakan kehendaknya, dan lemabaga itu adalah negara.Penataan efektif adalah penataan de facto, yaitu penatan yang berdasarkan kenyataan menentukan kelakuan masyarakat.Namun perlu dipahami bahwa negara yang memiliki kekuasaan itu adalah sebagai perwujudan sifat kodrat manusia sebagai individu dan makhluk sosial.Jadi lemabaga negara yang memiliki kekuasaan adalah lembaga negara sebagai kehendak untuk hidup bersama.


C. NILAI-NILAI PANCASILA SEBAGAI SUMBER ETIKA POLITIK
Sebagi dasar filsafah negara pancasila tidak hanya merupakan sumber derivasi peraturan perundang-undangan, malainkan juga merupakan sumber moraliatas terutama dalam hubunganya dengan legitimasi kekuasaan, hukum serta sebagai kebijakan dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara. Sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa” serta sila ke dua “kemanusiaan yang adoil dan beradab” adalah merupakan sumber nilai-nilai moral bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara, Etika politik menuntut agar kekuasaan dalam negara dijlankan sesuai dengan Asas legalitas (Legitimasi hukum) , secara demokrasi (legitimasi demokrasi) dan dilaksanakan berdasrkan prinsip-prinsip moral (legitimasi moral). (Suseno, 1987 :115). Pancasila sebagai suatu sistem filsafat memiliki tiga dasar tersebut. Dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara baik menyangkut kekuasaan, kebijaksanaan yang menyangkut publik, pembagian serta kewenagan harus berdasarkan legitimimasi moral religius serta moral kemanusiaan. Dalam pelaksanaan dan penyelenggaran negara, segala kebijakan, kekuasaan, kewenangan, serta pembagian senantiasa harus berdasarkan atas hukum yang berlaku.
Etika politik ini harus direalisasikan oleh setiap individu yang ikut terlibat secara kongkrit dalam pelaksanaan pemerintahan Negara.



BAB IV
PENUTUP

A. SIMPULAN
Dari laporan yang kami buat ini dapat kami tarik kesimpulan bahwa : Etika Politik merupakan filsafat teoretis yang membahas tentang makna hakiki segala sesuatu antara lain: manusia, alam, benda fisik, pengetahuan bahkan tentang hakikat yang transenden. Dan  Pancasila sebagai Etika Politik, bahwa Pancasila adalah pedoman hidup bersama kita, yang mengatur bagaimana kita bersikap dan bertindak antar satu dengan lain, yang disertai hak dan kewajibannya. Dengan kata lain Pancasila adalah moral identity kita. Baik sebagai warga dunia, sebagai warga negara, sebagai anggota masyarakat. Kita dikenali karena kita memiliki Pancasila dalam diri kita sebagai pedoman hidup bersama.
Adapun Hubungan Pancasila dengan Etika Politik adalah pancasila merupakan  dasar atau ideologi negara dan kemudian menjadi "way of live " masyarakat Indonesia, sedang etika politik adalah tata tertib, aturan, "sopan santun" politik. Dengan demikian agar etika politik dapat diterima oleh masyarakat Indonesia haruslah sesuai dengan sila-sila yang tercantum pada Pancasila atau sesuai dengan "way of live" masyarakat Indonesia.
B. SARAN
Pancasila hendaknya disosialisasikan secara mendalam sehingga dalam kehidupan bermasyarakat dalam berbagai segi terwujud dengan adanya kesianambungan usaha pemerintah untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur dengan kepastian masyarakat untuk mengikuti dan mentaati peraturan yang ditetapkan, karena kekuatan politik suatu negara ditentukan oleh kondisi pemerintah yang absolut dengan adanya dukungan rakyat sebagai bagian terpenting dari terbentuknya suatu negara.





.





  





Pengertian sastra
Sastra (Sanskerta: shastra) merupakan kata serapan dari bahasa Sanskerta sastra, yang berarti "teks yang mengandung instruksi" atau "pedoman", dari kata dasar sas- yang berarti "instruksi" atau "ajaran". Dalam bahasa Indonesia kata ini biasa digunakan untuk merujuk kepada "kesusastraan" atau sebuah  jenis tulisan yang memiliki arti atau keindahan tertentu.
Yang agak bias adalah pemakaian istilah sastra dan sastrawi. Segmentasi sastra lebih mengacu sesuai defenisinya sebagai sekedar teks. Sedang sastrawi lebih mengarah pada sastra yang kental nuansa puitis atau abstraknya. Istilah sastrawan adalah salah satu contohnya, diartikan sebagai orang yang menggeluti sastrawi, bukan sastra.
Selain itu dalam arti kesusastraan, sastra bisa dibagi menjadi sastra tertulis atau sastra lisan (sastra oral). Di sini sastra tidak banyak berhubungan dengan tulisan, tetapi dengan bahasa yang dijadikan wahana untuk mengekspresikan pengalaman atau pemikiran tertentu.Biasanya kesusastraan dibagi menurut daerah geografis atau bahasa.
Jadi, yang termasuk dalam kategori Sastra adalah:

Ø  Novel
Ø  Cerita/cerpen (tertulis/lisan)
Ø  Syair
Ø  Pantun

Sastra Indonesia, adalah sebuah istilah yang melingkupi berbagai macam karya sastra di Asia Tenggara. Istilah "Indonesia" sendiri mempunyai arti yang saling melengkapi terutama dalam cakupan geografi dan sejarah poltik di wilayah tersebut.
Sastra Indonesia sendiri dapat merujuk pada sastra yang dibuat di wilayah Kepulauan Indonesia. Sering juga secara luas dirujuk kepada sastra yang bahasa akarnya berdasarkan Bahasa Melayu (dimana bahasa Indonesia adalah satu turunannya). Dengan pengertian kedua maka sastra ini dapat juga diartikan sebagai sastra yang dibuat di wilayah Melayu (selain Indonesia, terdapat juga beberapa negara berbahasa Melayu seperti Malaysia dan Brunei), demikian pula bangsa Melayu yang tinggal di Singapura.

Sastra Indonesia terbagi menjadi 2 bagian besar, yaitu :

Ø  lisan
Ø  tulisan

Secara urutan waktu maka sastra Indonesia terbagi atas beberapa angkatan:

Ø  Angkatan Pujangga Lama
Ø  Angkatan Sastra Melayu Lama
Ø  Angkatan Balai Pustaka
Ø  Angkatan Pujangga Baru
Ø  Angkatan 1945
Ø  Angkatan 1950 - 1960-an
Ø  Angkatan 1966 - 1970-an
Ø  Angkatan 1980 - 1990-an
Ø  Angkatan Reformasi
Ø  Angkatan 2000-an

*      Pujangga Lama

Pujangga lama merupakan bentuk pengklasifikasian karya sastra di Indonesia yang dihasilkan sebelum abad ke-20. Pada masa ini karya satra di dominasi oleh syair, pantun, gurindam dan hikayat. Di Nusantara, budaya Melayu klasik dengan pengaruh Islam yang kuat meliputi sebagian besar negara pantai Sumatera dan Semenanjung Malaya. Di Sumatera bagian utara muncul karya-karya penting berbahasa Melayu, terutama karya-karya keagamaan. Hamzah Fansuri adalah yang pertama di antara penulis-penulis utama angkatan Pujangga Lama. Dari istana Kesultanan Aceh pada abad XVII muncul karya-karya klasik selanjutnya, yang paling terkemuka adalah karya-karya Syamsuddin Pasai dan Abdurrauf Singkil, serta Nuruddin ar-Raniri.

*      Sastra Melayu Lama

Karya sastra di Indonesia yang dihasilkan antara tahun 1870 - 1942, yang berkembang dilingkungan masyarakat Sumatera seperti "Langkat, Tapanuli, Minangkabau dan daerah Sumatera lainnya", orang Tionghoa dan masyarakat Indo-Eropa. Karya sastra pertama yang terbit sekitar tahun 1870 masih dalam bentuk syair, hikayat dan terjemahan novel barat.

*      Angkatan Balai Pustaka

Angkatan Balai Pusataka merupakan karya sastra di Indonesia yang terbit sejak tahun 1920, yang dikeluarkan oleh penerbit Balai Pustaka. Prosa (roman, novel, cerita pendek dan drama) dan puisi mulai menggantikan kedudukan syair, pantun, gurindam dan hikayat dalam khazanah sastra di Indonesia pada masa ini.
Balai Pustaka didirikan pada masa itu untuk mencegah pengaruh buruk dari bacaan cabul dan liar yang dihasilkan oleh sastra Melayu Rendah yang banyak menyoroti kehidupan pernyaian (cabul) dan dianggap memiliki misi politis (liar). Balai Pustaka menerbitkan karya dalam tiga bahasa yaitu bahasa Melayu-Tinggi, bahasa Jawa dan bahasa Sunda; dan dalam jumlah terbatas dalam bahasa Bali, bahasa Batak, dan bahasa Madura.

*      Pujangga Baru     

Pujangga Baru muncul sebagai reaksi atas banyaknya sensor yang dilakukan oleh Balai Pustaka terhadap karya tulis sastrawan pada masa tersebut, terutama terhadap karya sastra yang menyangkut rasa nasionalisme dan kesadaran kebangsaan. Sastra Pujangga Baru adalah sastra intelektual, nasionalistik dan elitis.
Pada masa itu, terbit pula majalah Pujangga Baru yang dipimpin oleh Sutan Takdir Alisjahbana, beserta Amir Hamzah dan Armijn Pane. Karya sastra di Indonesia setelah zaman Balai Pustaka (tahun 1930 – 1942).
Masa ini ada dua kelompok sastrawan Pujangga baru yaitu :
  1. Kelompok "Seni untuk Seni" yang dimotori oleh Sanusi Pane dan Tengku Amir Hamzah
  2. Kelompok "Seni untuk Pembangunan Masyarakat" yang dimotori oleh Sutan Takdir Alisjahbana, Armijn Pane dan Rustam Effendi.

*      Angkatan 1945

Pengalaman hidup dan gejolak sosial-politik-budaya telah mewarnai karya sastrawan Angkatan '45. Karya sastra angkatan ini lebih realistik dibanding karya Angkatan Pujangga baru yang romantik-idealistik. Karya-karya sastra pada angkatan ini banyak bercerita tentang perjuangan merebut kemerdekaan seperti halnya puisi-puisi Chairil Anwar. Sastrawan angkatan '45 memiliki konsep seni yang diberi judul "Surat Kepercayaan Gelanggang". Konsep ini menyatakan bahwa para sastrawan angkatan '45 ingin bebas berkarya sesuai alam kemerdekaan dan hati nurani. Selain Tiga Manguak Takdir, pada periode ini cerpen Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma dan Atheis dianggap sebagai karya pembaharuan prosa Indonesia.

*      Angkatan 1950 - 1960-an

Angkatan 50-an ditandai dengan terbitnya majalah sastra Kisah asuhan H.B. Jassin. Ciri angkatan ini adalah karya sastra yang didominasi dengan cerita pendek dan kumpulan puisi. Majalah tersebut bertahan sampai tahun 1956 dan diteruskan dengan majalah sastra lainnya, Sastra.
Pada angkatan ini muncul gerakan komunis dikalangan sastrawan, yang bergabung dalam Lembaga Kebudajaan Rakjat (Lekra) yang berkonsep sastra realisme-sosialis. Timbullah perpecahan dan polemik yang berkepanjangan di antara kalangan sastrawan di Indonesia pada awal tahun 1960; menyebabkan mandegnya perkembangan sastra karena masuk kedalam politik praktis dan berakhir pada tahun 1965 dengan pecahnya G30S di Indonesia.

*      Angkatan 1966 - 1970-an

Angkatan ini ditandai dengan terbitnya Horison (majalah sastra) pimpinan Mochtar Lubis. Semangat avant-garde sangat menonjol pada angkatan ini. Banyak karya sastra pada angkatan ini yang sangat beragam dalam aliran sastra dengan munculnya karya sastra beraliran surealistik, arus kesadaran, arketip, dan absurd. Penerbit Pustaka Jaya sangat banyak membantu dalam menerbitkan karya-karya sastra pada masa ini. Sastrawan pada angkatan 1950-an yang juga termasuk dalam kelompok ini adalah Motinggo Busye, Purnawan Tjondronegoro, Djamil Suherman, Bur Rasuanto, Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono dan Satyagraha Hoerip Soeprobo dan termasuk paus sastra Indonesia, H.B. Jassin.

*      Angkatan 1980 - 1990an

Karya sastra di Indonesia pada kurun waktu setelah tahun 1980, ditandai dengan banyaknya roman percintaan, dengan sastrawan wanita yang menonjol pada masa tersebut yaitu Marga T. Karya sastra Indonesia pada masa angkatan ini tersebar luas diberbagai majalah dan penerbitan umum.
Mira W dan Marga T adalah dua sastrawan wanita Indonesia yang menonjol dengan fiksi romantis yang menjadi ciri-ciri novel mereka. Pada umumnya, tokoh utama dalam novel mereka adalah wanita. Bertolak belakang dengan novel-novel Balai Pustaka yang masih dipengaruhi oleh sastra Eropa abad ke-19 dimana tokoh utama selalu dimatikan untuk menonjolkan rasa romantisme dan idealisme, karya-karya pada era 1980-an biasanya selalu mengalahkan peran antagonisnya.
Namun yang tak boleh dilupakan, pada era 1980-an ini juga tumbuh sastra yang beraliran pop, yaitu lahirnya sejumlah novel populer yang dipelopori oleh Hilman Hariwijaya dengan serial Lupusnya. Justru dari kemasan yang ngepop inilah diyakini tumbuh generasi gemar baca yang kemudian tertarik membaca karya-karya yang lebih berat.

*      Angkatan Reformasi

Seiring terjadinya pergeseran kekuasaan politik dari tangan Soeharto ke BJ Habibie lalu KH Abdurahman Wahid (Gus Dur) dan Megawati Sukarnoputri, muncul wacana tentang "Sastrawan Angkatan Reformasi". Munculnya angkatan ini ditandai dengan maraknya karya-karya sastra, puisi, cerpen, maupun novel, yang bertema sosial-politik, khususnya seputar reformasi. Di rubrik sastra harian Republika misalnya, selama berbulan-bulan dibuka rubrik sajak-sajak peduli bangsa atau sajak-sajak reformasi. Berbagai pentas pembacaan sajak dan penerbitan buku antologi puisi juga didominasi sajak-sajak bertema sosial-politik.
Sastrawan Angkatan Reformasi merefleksikan keadaan sosial dan politik yang terjadi pada akhir tahun 1990-an, seiring dengan jatuhnya Orde Baru. Proses reformasi politik yang dimulai pada tahun 1998 banyak melatarbelakangi kelahiran karya-karya sastra  puisi, cerpen, dan novel pada saat itu. Bahkan, penyair-penyair yang semula jauh dari tema-tema sosial politik, seperti Sutardji Calzoum Bachri, Ahmadun Yosi Herfanda, Acep Zamzam Noer, dan Hartono Benny Hidayat dengan media online: duniasastra(dot)com -nya, juga ikut meramaikan suasana dengan sajak-sajak sosial-politik mereka.

*      Angkatan 2000-an

Setelah wacana tentang lahirnya sastrawan Angkatan Reformasi muncul, namun tidak berhasil dikukuhkan karena tidak memiliki juru bicara, Korrie Layun Rampan pada tahun 2002 melempar wacana tentang lahirnya "Sastrawan Angkatan 2000". Sebuah buku tebal tentang Angkatan 2000 yang disusunnya diterbitkan oleh Gramedia, Jakarta pada tahun 2002. Seratus lebih penyair, cerpenis, novelis, eseis, dan kritikus sastra dimasukkan Korrie ke dalam Angkatan 2000, termasuk mereka yang sudah mulai menulis sejak 1980-an, seperti Afrizal Malna, Ahmadun Yosi Herfanda dan Seno Gumira Ajidarma, serta yang muncul pada akhir 1990-an, seperti Ayu Utami dan Dorothea Rosa Herliany.

Pengertian Sastra

(1) Apakah sastra itu ?
Sastra ialah karya tulis yang, jika dibandingkan dengan karya tulis yang lain, memiliki berbagai ciri keunggulan seperti keorisinalan, keartisikan, serta keindahan dalam isi dan ungkapannya.
(2) Aspek apakah yang harus ada dalam sastra?
Ada tiga aspek yang harus ada dalam sastra, yaitu keindahan, kejujuran, dan kebenaran. Kalau ada sastra yang mengorbankan salah satu aspek ini, misalnya karena alasan komersial, maka sastra itu kurang baik.
(3) Ada berapa jenis sastra?
            Sastra terdiri atas tiga jenis, yaitu puisi, prosa, dan drama.
     (4) Apakah puisi itu?
Puisi ialah jenis sastra yang bentuknya dipilih dan ditata dengan cermat sehingga mampu mempertajam kesadaran orang akan suatu penelama ndan membangkitkan tanggapan khusus lewat bunyi, irama, dan makna khusus. Puisi mencakupi satuan yang lebih kecil, seperti sajak, pantun, dan balada.
  
(5) Apakah prosa?
Prosa ialah jenis sastra yang dibedakan dari puisi karean tidak terlalu terikat oleh Irama, rima, atau kemerduan bunyi. Bahasa prosa dekat dengan bahasa sehari-hari. Yang termasuk prosa, antara lain cerita pendek, novel, dan esai.
(6) Apakah drama itu?
Drama ialah jenis sastra dalam bentuk puisi atau prosa yang bertujuan menggambarkan kehidupan lewat lakuan dan dialog (cakapan) para tokoh. Lazimnya dirancang untuk pementasan panggung.
 (7) Apakah sanjak itu?
            Istilah sanjak dihindari pemakaiannya. Sebagai gantinya digunakan istilah sajak.
(8) Apakah sajak itu?
Sajak ialah karya sastra yang berciri mantra, rima, tanpa rima, ataupun kombinasi keduanya. Kekhususannya, jika dibandingkan dengan bentuk sastra yang lain, terletak pada kata-katanya yang topang-menopang dan berjalinan dalam arti dan irama.
 (9) Apakah rima itu?
Rima ialah pengulangan bunyi berselang dalam sajak, baik di dalam larik (baris, leret) maupun pada akhir larik-larik yang berdekatan. Agar terasa keindahannya, bunyi yang berima itu ditampilkan dalam tekanan, nada, atau pemanjangan suara. Jenis rima, antara lain runtun vokal atau asonansi, purwakanti atau aliterasi, dan rima sempurna. Contoh: Apa yang terjadi nanti

Manfaat Sastra

(10) Apakah manfaat sastra?
 Penyair Romawi kuno, Horatius merumuskan manfaat sastra dengan ungkapan yang padat, yaitu dulce et utile 'menyenangkan dan bermanfaat". Menyenangkan dapat dikaitkan dengan aspek hiburan yang diberikan sastra, sedangkan bermanfaat dapat dihubungkan dengan pengalaman hidup yang ditawarkan sastra.
(11) Hiburan apakah yang ditawarkan sastra?
Sastra, antara lain menawarkan humor seperti yng dilihat pad petikan berikut : Hujan Air hujan turunnya ke cucuran atap Kalau banjir atapnya yang turun ke air Penderitaan Berakit-rakit ke hulu Berenang-renang ke tepian Bersakit-sakit dahulu Bersakit-sakit berkepanjangan (Taufik Ismail) Siapakah pembaca yang tidak tersenyum simpul digelitik humor sajak ini?
 (12) Pengalaman apakah yang ditawarkan sastra?
Sastra, antara lain, menawarkan pengalaman hidup yang dapat memperluas wawasan pembacanya seperti yang terlihat pada sajak berikut. TUHAN, KITA BEGITU DEKAT Tuhan, Kita begitu dekat Sebagai api dengan panas Aku panas dalam apimu Tuhan, Kita begitu dekat Seperti kain dengan kapas Aku kapas dalam kainmu Tuhan, Kita begitu dekat Seperti angin dan arahnya Kita begiu dekat Dalam gelap Kini aku nyala Pada lampu padammu (Abdul Hadi) Penyair Abdul Hadi ingin berbagi pengalaman religiusnya dengan pembacanya. Pada suatu saat ia begitu dekat dengan Tuhan. Pada saat yang lain ia merasa tidak berarti di hadapan Tuhan, seperti nyala lampu ketika padam, musnah, hilang, ke dalam Yang Mahagaib.

 Apresiasi

Apresiasi dapat diartikan usaha pengenalan suatu nilai terhadap nilai yang lebih tinggi. Apresiasi itu merupakan tanggapan seseorang yang sudah matang an sedang berkembang ke arah penghayatan nilai yang lebih tinggi sehingga ia mampu melihat dan mengenal nilai dengan tepat dan menanggapinya dengan hangat dan simpatik. Seseorang yang telah memiliki apresiasi tidak sekedar yakin bahwa sesuatu yang dikehendaki menurut perhitungan akalnya, tetapi menghasratkan sesuatu itu-itu benar-benar berdasarkan jawaban sikap yang penuh kegairahan untuk memilikinya. Apresiasi Sastra Bertolak dari pengertian apresiasi seperti dikemukakan di atas, apresiasi sastra dpatdiartikan sebagai pengenalan dan pemahaman yang tepat terhadap nilai sastra yang dapat menimbulkan kegairahan terhadap sastra itu, serta menciptakan kenikmatan yang timbul sebagai akibat semua itu. Dalam mengapresiasi sastra, seseorang akan mengalami sebagian kehidupan yang dialami pengarangnya, yang tertuang dalam karya ciptanya. Hal ini dapat terjadi karena adanya day empati yang memungkinkan pembaca terbawa ke dalam suasana dan gerak hati dalam karya itu. Kemampuan menghayati pengalaman pengarang yang dituliskan dalam karyanya dapat menimbulkan rasa nikmat pada pembaca. Kenikmatan itu timbul karena pembaca (1) merasa mampu memahami pengalaman orang lain; (2) merasa pengalamannya bertambah sehingga dapat menghadapai kehidupan dengan yang lebih baik; (3) merasa kagum akan kemampuan sastrawan dalam memberikan, memadukan, dan memperjelas makna terhadap pengalaman yang diolahnya; dan (4) mampu menemukan nilai-nilai estetik dalam karya itu.

Bahasa dan Susastra

Dalam dunia susastra, kosakata yang digunakan acapkali tidak dapat dibedakan dari kosakata bahasa sehari-hari. Bahkan, banyak sastrawan yang memanfaatkan kosakata sehari-hari dalam karya ciptanya, tetapi dengan memberinya makna yang lebih luas. Dalam susastra, bahasa tidak hanya digunakan untuk mengungkapkan, baik pengalaman sastrawan itu sendiri maupun pengalaman orang lain, tetapi juga dipakai untuk menyatakan hasil rekamannya. Kata-kata atau idiom seperti yang biasa kita jumpai dalam bahas di luar susastar, ternyata mampu memberikan kenikamatan dan keharuan, di samping adanya makna ganda. Artinya, selain ada makna yang tersurat juga terkandung makna yang tersirat. Makna yang tersirat itu sering berfungsi sebagai pesan utama pengarang. Hal itu dimungkinkan oleh keterampilan pengarang daam memilih kata yang tepat dan serasi, menyusun kalimat, serta menentukan gaya bahas sehingga karangannya benar-benar 'hidup' dan menarik. Dalam puisi, misalnya, kata gerimis dan kata batu dapat menghindarkan makan yang diperluas. Gerimis sering dipakai untuk melukiskan suasana sedih atau murung dan kata batu sering digunakan untuk melukiskan hilangnya komunikasi dalam suatu situasi atau untuk menggambarkan teka-teki kehidupan.

 Teknik Meresensi Fiksi

Di dalam penilaian cerita fiksi ada lima pokok yang harus diperhatikan. Pertanyaan berikut apat dijadikan bimbingan resensi cerita fiksi. (1) Tema a. Apakah tema cerita itu? b. Dapatkah tema itu diterima sebagai kebenaran umum? (2) Sudut Pandang a. Dari sudut manakah cerita itu disampaikan? b. Taat asaskah penerapan sudut pandang itu dalam keseluruhan cerita? (3) Tokoh a. Apakah penokohannya disajikan secara langsung?
b. Apakah pengarang membuatkan rangkuman tentang sifat tokoh dan menceritakan kepada pembaca serta bagaimana pemikiran tokoh itu? c. Berapa banyak penokohan itu dilakukan secara langsung melalui dialog para tokoh, tindakan tokoh, dan reaksi lain terhadap mereka? d. Apakah tokoh itu bermain secara wajar? e. Apakah yang dikehendaki tokoh itu dan apa sebabnya? f. Bagaimana hubungan an cara menghubungkan para tokoh dengan tema cerita? (4) Alur a. Insiden apa yang dipakai untuk melayani tema cerita? Wajarkah hubungan itu? b. Mengapa insiden itu lebih menonjol daripada insiden lain? c. Wajar dan hidupkah cara mengungkapkan insiden itu? (5) Bahasa a. Gaya bahasa apa yang digunakan? b. Wajar, tepa, dan hidupkah bahasanya?

Penghayatan Karya Sastra

Penulis kreatif bidang sastra seperti fiksi, drama, puisi, biografi, dan esai populer, memiliki sejumlah pengalaman yan hendak disampaikan kepad para pembaca. Sang sastrawan atau pengarang itu ingin agar pembaca dapat merasakan apa yang telah dirasakannya. Ia ingin agar pembaca dapat memahami dan menghayati kekuatan fakta dan visi kebenaran seperti yang telah dilihat dan dirasakannya. Ia mengundang pembaca memasuki pengalaman nyata dan dunia imajinatifnya, yang diperoleh melalui pengalaman inderanya yang paling dalam. Pengalaman batin seorang pengarang itu dapat dikatakan suatu karya sastra jika di dalamnya tercermin keserasian antara keindahan bentuk dan isi. Dalam karya itu terungkap norma estetik, norma sastra, dan norma moral. Upaya apa yang harus kita lakukan dalam memahami karya sastra itu? Membaca karya sastra berarti berusaha menyelami "diri" pengarangnya. Hal itu tentu bergantung pada kemampuan kita mengartikan makna kalimat serta ungkapan dalam karya sastra itu. Kita harus berupaya menempatkan diri kita sebagai sastrawan yang menciptakan karya sastra itu. Jadi, dituntut adanya hubungan timbal-balik antara kita sebagai penikamt dan penciptanya. Sehubungan dengan konsep itu, kita bertindak seolah-olah menjadi pribadi sastrawan. Dengan cara itulah, kita dapat dengan mudah membayangkan kembali situasi yang melatarbelakangi penciptaan serta mudah merasakan, menghayati, dan mencerna kata demi kata bahasa karya sastra itu. Penghayatan karya sastra merupakan usaha menghidupkan dalam jiwa kita suatu pengalaman, sebagaimana sastrawan menghidupkan pengalaman itu melalui karyanya.